"Jangan rindu. Ini berat. Kau tak akan kuat. Biar aku saja." Pidi Baiq, Dilan: Dia adalah Dilanku tahun 1990
Rasanya sekarang sudah tidak asing lagi melihat kata-kata itu di setiap platform media sosial. Quotes yang khas tersebut diambil dari salah satu buku terkenal karangan Pidi Baiq berjudul Dilan. Kini dibuat tambah terkenal lagi setelah novel itu diangkat ke layar lebar. Lalu tambah terkenal lagi setelah orang-orang mengetahui yang akan berperan menjadi Dilan adalah Iqbaal CJR.
Sebelum ke-salty-an saya terhadap filmnya terlihat, ada baiknya kita bahas sedikit bukunya.
Bukunya sendiri saya beli di Bulan Juni 2014 setelah melihat tweet teman yang mengatakan bahwa Dilan sangatlah lucu, dan rasanya minta dikresek-in lalu dibawa pulang. Sebagai seseorang yang suka terpancing dengan nama tokoh yang enak dibaca dan dilihat (karena menurut saya nama Dilan terdengar cukup Indonesia tanpa adanya kesan dibuat-buat, pun langsung terbayang sosok pemuda yang manis gimana gitu), saya jadi penasaran selucu apakah si Dilan Dilan ini.
Setelah dibaca........
ternyata memang selucu itu si Dilan ini.
Lucu dalam artian, dia memiliki cara dan kata-kata yang agak eksentrik sewaktu lagi pendekatan dengan si Milea ini. Milea yang awalnya tidak acuh pun ya lama-lama luluh juga, karena cewek mana yang gak luluh kalau dikasih 'perhatian' yang 'berbeda' #bukansarkasme .
[SPOILER] Tapi buku kelanjutannya saya gak niat beli lagi begitu tahu ternyata Dilan sama Milea tidak berakhir bahagia, dalam artian mereka GA MENIKAH. APALAH ARTINYA SEMUA KATA-KATA MANIS ITU KALAU MEREKA TIDAK BERAKHIR BERSAMA! SEBAGAI PENYUKA HAPPY ENDING DALAM SEBUAH NOVEL, SAYA MERASA DIKECEWAKAN.
Setelahnya, sosok Dilan masih membekas di otak dan menimbulkan pertanyaan yang tentunya tidak akan pernah bisa terjawab oleh warganet Indonesia, "Di mana ya nyari cowok kayak Dilan?"
Satu hal yang pasti, hanya karena ingin menemukan sosok seperti Dilan, bukan berarti kita harus pergi ke Bandung. Engga, itu salah. Jangan habis itu mengkategorikan bahwa semua cowok Bandung seperti Dilan. Kata siapa? Bisa aja kan cowok di Tangerang juga ada yang seperti Dilan.
Walaupun jika bicara sesuai logis, kemungkinan besar akan sangat sulit menemukan sosok seperti Dilan, bahkan nyaris mustahil. Jangan juga berharap bahwa setelah menonton Dilan bersama pasangan, dia akan otomatis merubah penampilannya atau cara bicaranya menjadi seperti Dilan. Dilan itu sudah menjadi tokoh fiktif milik bersama, tidak akan ada yang bisa menandingi.
Tapi semua khayalan manis tentang Dilan agak sedikit berubah setelah saya mendengar bahwa buku ini akan difilmkan. Sebagai warga negara Indonesia yang sudah sering melihat perfilman dalam negeri, tidak heran banyak dari kita yang merasa skeptis begitu tahu bahwa novel-novel bagus akan segera diangkat ke layar lebar, salah satunya Dilan ini. Bersama teman saya, Adella, kita bersikap skeptis bareng dan berjanji untuk menonton film ini hanya untuk mendapatkan bahan tertawaan yang bagus.
Sebuah niat yang tidak baik memang.
Jujur saja, saya sendiri tidak begitu mempermasalahkan siapa yang akan memerankan Dilan atau Milea, karena dari awal pengumuman novelnya ingin diangkat ke layar lebar pun, saya sudah tidak menaruh ekspetasi yang besar terhadap film ini. Banyak yang mengatakan yang menjadi Dilan seharusnya lebih macho lah, Iqbaal kurang bulky, kurang tinggi, dan sebagainya. Ada yang bilang Iqbaal mukanya kurang Bandung, ada juga yang mengusulkan kenapa gak Reza Rahadian aja yang berperan sebagai Dilan, seolah-olah itu bisa menjadi penyelesaian.
Terlepas dari siapapun yang memerankan, saya cuma berharap semoga filmnya tidak 'jatuh terlalu jauh' dari ekspetasi saya.
Nyatanya, setelah saya dan teman saya selesai menonton, dan teman saya bertanya, "Gimana filmnya?" saya hanya bisa mengangakat bahu sambil menjawab, "Yah, sesuai ekspetasi."
Saya tidak tahu mau menangis lega karena filmnya sesuai ekspetasi, atau menghela napas lelah karena memang sesuai ekspetasi.
Pertama, saya ingin membahas dialog-dialog yang dibuat benar-benar mirip 99% dengan yang ada di buku. Hampir 99% sama persis dan akhirnya membuat yang sudah baca duluan mungkin tidak begitu kaget lagi begitu mendengar beberapa dialog keluar dari mulut Dilan dan Milea. Apa yang membuat saya kaget adalah, begitu kata-kata lucu nan melelehkan Dilan divokalisasikan secara nyata, ternyata efeknya tidak sekuat kalau baca langsung. Hal ini saya bicarakan dengan teman saya, dan memang, itulah salah satu kelemahan film yang diangkat dari novel. Tidak semua bagian atau kata-kata dalam novel terlihat pas atau terdengar enak begitu ternyata direalisasikan.
Dialog tokohnya yang pendek-pendek di dalam novel, terdengar sangat kaku dan sedikit awkward begitu diucapkan langsung. Di beberapa bagian juga terdapat jeda yang cukup lama, sehingga akting dari beberapa pemain malah terlihat canggung.
Kedua, saya tidak tahu ini memang teknologi kita yang belum canggih, atau memang SESUSAH itu membuat efek dalam film, tapi kalau memang masih bisa menggunakan pemandangan alam asli sebagai latar, kenapa sih harus banget pakai efek? Contohnya, adegan saat Milea diantar Bunda naik mobil. Terlihat efek KHAS INDONESIA yang memperlihatkan pohon-pohon yang ada di pinggir jalan, dilihat dari pandangan penumpang di dalam mobil. Pohon-pohon itu terlihat sangat tidak nyata, ya pokoknya efek khas Indonesia lah.
Bahkan FTV di SCTV pun ada kok yang menggunakan pemandangan alam asli sebagai latar. Lalu ini kenapa, film yang menggunakan setting Bandung, bukannya memperlihatkan pohon-pohon yang ada di Bandung, tapi malah menggunakan efek yang sangat mengganggu mata seperti itu?
Tidak hanya soal pohon, ada suatu adegan yang memperlihatkan perpindahan setting waktu dari siang ke malam dengan menggunakan EFEK BULAN YANG SANGAT BESAR.
BULANNYA BESAR BANGET, BAHKAN HAMPIR MEMENUHI SETENGAH LAYAR.
Padahal setahu saya, suka ada kok di sinetron-sinetron Indonesia yang memperlihatkan perpindahan setting waktu hanya dengan menampilkan langit malam tanpa bintang, diikuti suara jangkrik, maka voila, jadilah adegan malam. Harus banget pakai efek bulan besar setengah layar? Kan engga.
Ketiga, masih soal setting. Saya sadar bahwa setting tempat pun berpengaruh cukup besar terhadap enak atau tidaknya film itu dilihat. Sebenernya tidak harus menampilkan setting yang bagus atau indah banget gitu, tapi cukup setting yang menimbulkan pemikiran, 'Wah, Bandung banget nih, jadi pengen kesana,' itu pun sudah cukup.
Sayangnya, pemikiran tersebut sama sekali tidak muncul dalam otak saya. Beda rasanya saat menonton film Jomblo nya Adhitya Mulya, yang mana aura Bandung nya tuh kerasa banget. Saya gak paham juga sih, apakah karena ini kebanyakan settingnya di sekolah? Tapi pemandangan jalannya pun, di beberapa scene cenderung malah terlihat seperti di Jakarta. Kalau tidak ada keterangan nama jalannya yang dibuat se-Bandung mungkin, saya bisa saja beranggapan bahwa itu diambil di daerah Kalibata.
Saat saya dan teman saya masih ngobrolin soal film Dilan yang baru kita tonton, teman saya mengutarakan suatu pendapat, "Sofa di rumah Milea berwarna banget, itu cukup menganggu gue saat nonton."
Memang sih, kalau dilihat-dilihat, perabotan di rumah Milea ini cukup berwarna dan minimalis. Bahkan saya sempat curiga bahwa barang-barang tersebut diambil dari IKEA. Tapi bahkan di tahun 1990 pun IKEA belum ada di Alam Sutra. Ya saya sih mencoba berpikir positif saja, siapa tau memang di Bandung tahun 1990, ada keluarga yang sudah menerapkan pemakaian perabotan minimalis dan berwarna layaknya ibu-ibu di Instagram yang sekarang saling berlomba-lomba; ruang tamu siapa yang paling bagus dan rapih dengan perabotan minimalis dan warna senada.
Atau mungkin itu saya dan teman saya saja yang salty. Ya bagaimanapun juga, semua orang kan punya opini.
Saya tidak akan membahas soal akting pemainnya di sini karena saya masih ingin hidup dengan aman dan tentram, jauh dari hujatan warganet Indonesia. Tapi saya ingin memberikan sedikit pujian terhadap Iqbaal yang - surprisingly - dapat memerankan tokoh Dilan dengan cukup bagus. Di awal film mungkin masih agak terlihat canggung, tapi saat film berjalan, dia sedikit demi sedikit mulai memperlihatkan sosok Dilan, walau masih jauh dari sempurna (karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT dan Fahri).
Ada satu adegan yang amat sangat disayangkan sih. Sewaktu Dilan dipanggil ke ruang kepala sekolah sehabis dia mukulin Anhar, dia kan teriak tuh, nah kalau di buku dialognya begini,
"Kepala sekolah nampar dia, kubakar sekolah ini!"
Sayangnya pelafalan Iqbaal di adegan itu kurang terdengar jelas (menurut saya sih), karena sehabis dia teriak di adegan itu saya yang sempat ber-'hah? tadi dia ngomong apa?'. Padahal adegan itu bisa dibilang merupakan klimaks yang memperlihatkan bucinnya Dilan ke Milea bisa memperlihatkan kemampuan aktingnya Iqbaal sebagai Dilan. Kan sayang aja, kalau misalnya ada penonton yang gak baca bukunya, terus gak kedengaran jelas Dilan ngomong apa, jadinya mereka gak tahu bahwa dialog itu sebenernya bucin banget wow banget.
Untuk Milea saya no comment.
Jadi, kenapa saya bilang film ini sesuai ekspetasi saya, ya karena........memang sesuai ekspetasi saya. Tidak menimbulkan efek yang 'wah' banget, tapi tidak juga yang 'yah' banget. Biasa aja.
Terus kalau buku kelanjutannya diangkat lagi ke layar lebar, ada niat untuk nonton lagi gak nih?
Hehe kalau saya sih engga. Gak tau kalau kalian.
Bonus: Dilanku tahun 2018 versi pemilik blog.
No comments:
Post a Comment